Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) menggelar bedah buku Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan Legislasi yang ditulis oleh Guru Besar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Dwidja Priyatno, di Kampus STHB, Kamis (6/6/2024).
Bedah buku ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa STHB serta akademisi hukum. Turut hadir dalam bedah buku tersebut Guru Besar Ilmu Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Angkasa dan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi, Fachrizal Afandi, sebagai pembedah ahli.
Dwidja mengawali diskusi dengan menjelaskan secara ringkas buku yang ia terbitkan pada tahun 2017 lalu. Ia mengatakan kebijakan legislasi yang dibuat DPR bersama pemerintah mengenai korporasi punya banyak kelemahan. “Sanksi dari pelanggaran oleh korporasi ini orientasinya manusia, karena korporasi tidak dapat dipidanakan meskipun termasuk subjek tindak pidana,” ujarnya.
Ia memberi contoh kasus di industri perbankan. Meski yang dibidik adalah bank, akhirnya harus individu yang bertanggung jawab. Ini membuat penjatuhan sanksi pidana menjadi lemah.
Fachrizal Afandi mengatakan seluruh isi buku dalam lima bab tersebut sangat bermanfaat bagi mahasiswa. Seluruh teori mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kebijakan legislasi yang disajikan dapat dijadikan rujukan tugas mahasiswa sarjana hingga doktor.
Namun, Ia memberikan catatan tambahan. Berlakunya UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP tiga tahun lagi akan membuat semua rujukan hukum dalam buku itu harus disesuaikan. Fachrizal menyarankan Dwidja segera mempersiapkan edisi baru bukunya dengan merujuk KUHP baru. “Masih ada waktu hingga 2026 nanti, harapan saya akan ada update-an baru yang disesuaikan dengan KUHP baru,” ujar pakar hukum pidana Universitas Brawijaya itu.
Ia melanjutkan, bisa dilakukan penambahan beberapa pengaturan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru. Misalnya syarat pertanggungjawaban pidana (Pasal 36), strict liability dan vicarious liability (Pasal 37), kekurangmampuan bertanggungjawab (Pasal 38), ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 39), usia pertanggungjawaban pidana (Pasal 40 dan 41), daya paksa absolut dan relatif (Pasal 42), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 43), perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang (Pasal 44), dan pertanggungjawaban pidana korporasi (Pasal 45 dan 50).
Sementara itu, Angkasa membahas soal korban yang ia kupas dengan perspektif viktimologi. Secara sederhana, ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang korban kejahatan disebut viktimologi. Sebagai suatu cabang ilmu yang relatif muda, tidak banyak orang yang dapat memahami pengertian, isi, dan ruang lingkup viktimologi.
Viktimologi merupakan suatu studi atau pengetahuan yang sebenarnya berasal dari kriminologi. Viktimologi dapat dikatakan sebagai anak atau turunan dari kriminologi. Pokok pengetahuannya terkait dengan kejahatan yaitu akibat dari kejahatan itu sendiri yang menimbulkan adanya korban.
Penderita dampak dari suatu kejahatan menyandang status sebagai korban karena mengalami kerugian. Mereka menjadi objek yang dibahas dalam viktimologi. “Perspektif viktimologi terbagi atas tiga yaitu menganalisis berbagai aspek masalah korban, menjelaskan penyebab viktimisasi, dan mengembangkan sistem tindakan untuk mengurangi penderitaan manusia,” ujar Angkasa.
Salah satu faktor terjadinya viktimisasi dalam tindak pidana korporasi adalah mudahnya terjadi sebuah kejahatan korporasi akibat pengaruh budaya perusahaan. Mengejar keuntungan dan pertumbuhan menjadi tujuan utama korporasi tetapi kerap mengabaikan pertimbangan etis.
“Ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap peraturan serta toleransi terhadap perilaku tidak etis,” kata Ketua Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia itu. Angkasa menyayangkan bahwa kejahatan dan kecurangan dalam menjalankan perusahaan saat ini kadang dipandang sebagai seninya bisnis.